Rabu, 31 Oktober 2012

KISAH DUA ORANG ANAK PENJUAL TISSUE



Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.

Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.

“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”

Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar.”

“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.

Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.

Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.


KISAH PULAU KECIL


Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan, dsb. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu, dan air laut tiba-tiba naik, akan menenggelamkan pulau tersebut. Semua penghuni mulai cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Cinta mulai kebingungan, karena ia tidak dapat berenang dan tidak memiliki perahu. Ia berdiri di tepi pantai untuk mencoba mencari pertolongan. Sementara itu, air makin naik membasahi kaki cinta.

Tak lama kemudian, Cinta melihat Kekayaan sedang mendayung perahu. “Kekayaan, Kekayaan, tolong aku”, teriak Cinta. “Aduh maaf cinta, perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tidak dapat membawamu, nanti perahuku tenggelam. Lagipula tidak ada lagi tempat bagimu di perahu ini”, kata Kekayaan. Lalu kekayaan kembali bergegas mendayung perahunya untuk pergi. Cinta merasa sedih sekali.

Namun kemudian Cinta melihat "Kegembiraan" lewat dengan perahunya. “Kegembiraan, tolong aku”, teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia dapat menemukan perahu, sehinga ia tidak mendengar teriakan Cinta. Air semakin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggangnya, sehingga Cinta semakin panik.

Tidak lama kemudian, lewatlah "Kecantikan". “Kecantikan, bawalah aku bersamamu”, pinta Cinta. “Wah Cinta, lihatlah. Kamu basah dan kotor, aku tidak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini”, sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya, ia mulai menangis terisak-isak.

Saat itu lewatlah "Kesedihan", “Wahai Kesedihan, bawalah aku bersamamu”, Cinta meminta untuk ikut bersamanya. “Maaf Cinta, aku sedang sedih, dan aku ingin sendirian saja”, kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. Cinta putus asa, ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.

Pada saat itu terdengar suara, “Cinta, mari cepat naik ke perahuku”. Cinta menoleh ke arah suara tersebut, dan melihat seorang tua dengan perahunya. Dengan cepat-cepat Cinta langsung menaiki perahu tersebut tepat sebelum air menenggelamkannya.

Di pulau terdekat, orang tua tersebut menurunkan Cinta dan segera pergi. Pada saat itu barulah ia sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapakah orang tua yang telah memberi pertolongan sehingga dirinya selamat. Cinta segera menanyakan pada seorang penduduk di pulau tersebut, siapa sebenarnya orang tua tadi.

“Pak, siapakah orang tua tadi??”, tanya Cinta. “Oh, orang tua tadi?! Dia adalah "sang waktu"”, kata penduduk. “Tapi mengapa ia menyelamatkanku? Aku tidak mengenalnya, bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku”, Cinta heran.

Dan penduduk itu pun menjawab, “Hanya waktulah yang tahu, berapalah nilai yang sesungguhnya dari Cinta itu”.

KISAH PENYESALAN SEORANG KAKEK


Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, menggangu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf,dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar aja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia ketemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar.Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dalam membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya." Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku cintakamu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya.Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand,dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya.Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, Dia meninggal dunia dengan airmata dipipinya.

===========================================

Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu nggak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh.

Jika kamu pernah bertengkar, segera berbaikanlah!

Jika kamu merasa ingin mendengar suara teman kamu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera.

Terakhir, tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa kamu ingin bilang sama seseorang bahwa kamu sayang dan cinta dia, jangan tunggu sampai terlambat. Jika kamu terus pikir bahwa kamu lain hari baru akan memberitahu dia, hari ini tidak pernah akan datang.

Jika kamu selalu pikir bahwa besok akan datang, maka "besok" akan pergi begitu cepatnya hingga kamu baru sadar bahwa waktu telah meninggalkanmu.

KISAH UANG KERTAS 1000 DAN 100000


Uang kertas Rp.1000 dan Rp.100.000 sama-sama terbuat dari kertas, sama-sama di cetak serta diedarkan oleh Bank Indonesia. Secara kasat mata mereka memang tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Secara bersamaan mereka dibuat, keluar dan beredar di tengah-tengah masyarakat melalui Bank Indonesia.

Beberapa bulan kemudian, secara tidak sengaja mereka bertemu di salah satu dompet seorang anak muda. Kemudian, terjadilah percakapan diantara mereka,

Rp.100.000 bertanya kepada Rp.1000. “Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan bau?!”.

Lalu di jawab oleh uang Rp.1000, “Karena, setelah aku keluar dari Bank, aku langsung berada di tangan orang-orang bawahan. Dari tukang becak, tukang ojek, tukang parkir, penjual sayur, penjual ikan, bahkan sampai di tangan pengemis”.

Lalu uang Rp.1000 bertanya kembali kepada Rp.100.000. “Kenapa kamu masih tampak kelihatan seperti masih baru, rapi dan bersih??”.

Di jawab oleh uang Rp.100.000. “Karena begitu aku keluar dari bank, aku langsung di sambut wanita-wanita cantik, dan aku beredar di mall, restoran mahal, atau hotel berbintang. Keberadaanku sangatlah di jaga dan terkadang jarang keluar dari dalam dompet”.

Lalu uang Rp.1000 bertanya lagi, “Pernahkah kamu mampir di tempat ibadah?”.

“Belum pernah”, kata si Rp.100.000.

Lalu Rp.1000 pun berkata, “Ketahuilah, meskipun keadaanku sekarang seperti ini, namun setiap hari aku selalu mampir di masjid-masjid, Gereja dan berada di tangan anak-anak yatim. Bahkan aku selalu bersyukur kepada Tuhan. Aku tidaklah di pandang sebagai nilai oleh para manusia, namun aku di pandang sebagai MANFAAT”.

Akhirnya,, menangislah Rp.100.000. Karena ia tersadar telah merasa besar, hebat, tinggi, tapi tidaklah begitu bermanfaat selama ini.

KAKEK PENJUAL AMPLOP


Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah “Kakek Penjual Amplop di ITB”.

Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.

Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan ekonomi lemah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, amiin.

KISAH SANG KELINCI SAKTI


Seekor kelinci sedang duduk santai di tepi pantai, Tiba tiba datang se-ekor rubah jantan besar yang hendak memangsanya, Lalu kelinci itu berkata:

“Kalau memang kamu berani, hayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci, Yang kalah akan jadi santapan yang menang, dan saya yakin saya akan menang.”

Sang Rubah jantan merasa tertantang,

“Dimanapun jadi, Masa sih kelinci bisa menang melawan aku?”
Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, Sepuluh menit kemudian sang kelinci keluar sambil menggenggam Setangkai paha rubah dan melahapnya dengan nikmat.

Sang Kelinci kembali bersantai, Sambil memakai kaca mata hitam dan topi pantai Tiba tiba datang se-ekor serigala besar yang hendak memangsanya, Lalu kelinci berkata :

“Kalau memang kamu berani, hayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci, Yang kalah akan jadi santapan yang menang, dan saya yakin saya akan menang.”

Sang serigala merasa tertantang,

“Dimanapun jadi, Masa sih kelinci bisa menang melawan aku?”
Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, Lima belas menit kemudian sang kelinci keluar sambil menggenggam Setangkai paha serigala dan melahapnya dengan nikmat.

Sang kelinci kembali bersantai, Sambil memasang payung pantai dan merebahkan diri diatas pasir, Tiba tiba datang seekor beruang besar yang hendak memangsanya, Lalu kelinci berkata:

“Kalau memang kamu berani, hayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci, Yang kalah akan jadi santapan yang menang, dan saya yakin saya akan menang.”

Sang Beruang merasa tertantang,

“Dimanapun jadi, Masa sih kelinci bisa menang melawan aku?”
Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, Tiga puluh menit kemudian sang kelinci keluar sambil menggenggam Setangkai paha Beruang dan melahapnya dengan nikmat.

Pohon kelapa melambai lambai, Lembayung senja sudah tiba, habis sudah waktu bersantai, Sang Kelinci melongok kedalam lubang kelinci, sambil melambai

“Hai, keluar, sudah sore, besok kita teruskan!!”

Keluarlah se-ekor harimau dari lubang itu, sangat besar badannya. Sambil menguap Harimau berkata ...

“Kerjasama kita sukses hari ini, kita makan kenyang Dan saya tidak perlu berlari mengejar kencang.”

========================
Setitik pelaharan dari kisah diatas
========================
The Winner selalu berfikir mengenai kerja sama, sementara
The Looser selalu berfikir bagaimana menjadi tokoh yang paling berjaya.

Untuk membentuk ikatan persahabatan dan persaudaraan harus ada kerendahan hati dan keikhlasan bekerja sama dan..

“MESKIPUN DENGAN SESEORANG YANG KELIHATANNYA TIDAK LEBIH BAIK DARI KITA”

KISAH CALON PENEBANG KAYU


Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.

Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.

“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal.

Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.

Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru !

KISAH EMPAT LILIN


Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka
Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai.” “Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman.” “Sayang aku tak berguna lagi.” “Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta.” “Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.” “Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna.” “Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.

Tanpa terduga…

Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”

Lalu ia mengangis tersedu-sedu.

Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata:

Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya:
“Akulah HARAPAN.”

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.

Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita….dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya!

KISAH SEORANG PEMUDA DAN BUNGA MAWAR


Suatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas, disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap, bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dirawatnya pohon itu. Tak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah tumbuh kuncup bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapihkan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”

Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.

Jiwa manusia, adalah juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada ‘mawar’ yang tertanam. Tuhan yang menitipkannya kepada kita untuk dirawat. Tuhan lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak dari kita yang hanya melihat “duri” yang tumbuh. Banyak dari kita yang hanya melihat sisi buruk dari kita yang akan berkembang. Kita sering menolak keberadaan kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan diri kita dan tak mau menerimanya. Kita berpikir bahwa hanya hal-hal yang melukai yang akan tumbuh dari kita. Kita menolak untuk menyirami” hal-hal baik yang sebenarnya telah ada. Dan akhirnya, kita kembali kecewa, kita tak pernah memahami potensi yang kita miliki.

Banyak orang yang tak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, adanya mawar itu. Kita, kerap disibukkan dengan duri-duri kelemahan diri dan onak-onak kepesimisan dalam hati ini. Orang lain lah yang kadang harus menunjukannya.

Jika kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam jiwa itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita, akan terpacu untuk membuatnya akan membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu, dan mengabaikan duri-duri yang muncul.

Semerbak harumnya akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan yang ditawarkannya, adalah layaknya ketenangan air telaga yang menenangkan keruwetan hati. Mari, kita temukan “mawar-mawar” ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu dalam jiwa-jiwa kita. Mungkin, ya, mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hatimu. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya kemuliaan-Nya. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impianmu. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi bibit dan benih kebahagiaan baru bagimu. Sebarkan tunas-tunas itu kepada setiap orang yang kita temui, dan biarkan mereka juga menemukan keindahan mawar-mawar lain dalam jiwa mereka. Sampaikan salam-salam itu, agar kita dapat menuai bibit-bibit mawar cinta itu kepada setiap orang, dan menumbuh-kembangkannya di dalam taman-taman hati kita.

KISAH NEGERI BURUNG


Alkisah di suatu negeri burung, tinggallah bermacam-macam keluarga burung. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai dari yang bersuara lembut hingga yang bersuara menggelegar. Mereka tinggal di suatu pulau nun jauh di balik bukit pegunungan.
Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung. Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung Kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghuni negeri burung.

Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun. Burung-burung berbulu warna warni, pemberi keindahan.

Mereka bertugas bekeliling negri melebarkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.
Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya. Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang.

Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur harus berakhir dalam paruh sang ayah. Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang. Kejam…? Ini hanya masalah kepraktisan.

Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang. Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani. Inilah yang membedakan manusia dan hewan.

Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak.

Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna. Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon. Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: “Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?” Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: “Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat”. Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat.

Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan. Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang jantan.

Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar. Suatu ketika seeor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayang dan mendekati sang anak seraya berkata: “Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!”

Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anak elang.

Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkan di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan. Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.
Peristiwa itu menimbulkan rasa trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran.

Lama berselang setelah melihat kedua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya: “Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?” “Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!” jawab si induk elang dengan penuh kasih.”Tapi aku takut!’ ujar si anak. “Kami tahu, karenanya kami ta memaksa.” Jawab si induk elang lagi. “Lalu apa yang harus kulakukan agar aku beraai?” tanya si anak. “Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!”. “Bagaimana caranya?” “Percayalah pada kami!” Ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.

Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi. “Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang keseberang lautan?” Dengan tenang si elang jantan berkata: “Anakku kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya dirimu sendiri!”
Lalu si induk elang menambahkan: “Mulailah dari sekarang, karena langkah kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan di mulai dari langkah awal, anakku!”

Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan.

Didorong rasa bahagia akan cinta kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba. Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun melangkah.

===================
Pelajaran dari kisah diatas
===================

Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudan dengan tindakan nyata walau di mulai dari langkah yang kecil. Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada digenggamanmu! —

KISAH BURUNG ELANG DAN BURUNG KALKUN


Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.

Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!”. Elang membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.

Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung,namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekat dengannya, Sapi berkata, “Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini”.

Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya, “Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?”. Sapi menjawab, “Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan”. Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani.

Sapi menjawab, “Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun tambah bingung, “Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?”. Sapi menjawab, “Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal.” Elang dan Kalkun menjadi syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”

Elang juga goyah dengan pengalaman ini, “Saya tidak tahu tentang semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu tanpa mbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal itu sebagai tantangan menarik”.

Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan untuk menetap dimana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja. Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui bagaimana ke depannya.

Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk dan malas. Namun suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan bahwa Hari raya Thanks giving (Thanksgiving atau ‘syukuran’ bagi masyarakat Amerika Serikat dimanaa Jutaan orang akan mencoba pulang kampung untuk berkumpul dengan keluarga mereka dan amakanan utama saat itu adalah ayam kalkun) akan datang beberapa hari lagi dan alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam. Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.

Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menemukan bahwa ia telah tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanks giving keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun besar yang sedap.

==================

Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi…

Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.

KISAH SEORANG GADIS PENJUAL BUNGA


Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.

”Om beli bunga Om.”

”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.

”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om,” rayu si gadis kecil.

Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu.”

Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya, si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya.

”Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.” Bercampur antara jengkel dan kasihan si pemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya.

”Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil. Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana.

Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung. ”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?” Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab, ”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis.”

Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.

Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangan.

KISAH TUKANG AIR DAN TEMPAYAN


Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan satunya lagi tidak. Tempayan yang utuh selalu dapat membawa air penuh, walaupun melewati perjalanan yang panjang dari mata air ke rumah majikannya. Tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Hal ini terjadi setiap hari selama dua tahun. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan utuh merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugas dengan sempurna. Di pihak lain, si tempayan retak merasa malu sekali akan ketidaksempurnaanya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya ia dapat berikan.

Setiap Orang Memiliki kekurangan

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak berkata kepada si tukang air, “Saya sungguh malu kepada diri saya sendiri dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya”
“mengapa?” tanya si tukang air,”mengapa kamu merasa malu ?””Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa. Adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah
membuat mu rugi.”

Si tukang air merasa kasihan kepada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia menjawab,” Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”

Tuhan sanggup memakai kelemahan kita untuk maksud yang indah.
Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali merasa sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor dan kembali tempayan retak itu meminta maaf kepada si tukang air atas kegagalannya. Si tukang air berkata kepada tempayan itu, “Apakah kamu tidak memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu ? tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan lain yang tidak retak itu ?” Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini, aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk dapat menghias meja majikan kita. Tanpa adanya kamu , majikan kita tidak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”

==================
Pelajaran dari kisah diatas
==================

Setiap orang memiliki cacat dan kelemahan sendiri. Kita semua adalah tempayan retak, namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk maksud tertentu. Dimata Sang Pencipta yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma, Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu dapat menjadi sarana keindahan Sang Pencipta.
Ketahuilah dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.

DUA SAHABAT


Suatu hari bertemulah dua orang sahabat lama di kampung pesisir sebuah pantai. Keduanya dulu sahabat dibangku SD dan SMP. Atas perjalanan sang waktu dan kesempatan maka selepas dari SMP maka mereka menjalani kehidupan masing-masing, yang satu pergi merantau ke kota untuk meneruskan jenjang pendidikannya hingga menjadi Professor dan satunya tetap tinggal di kampung nelayan menjalani kehidupan menjadi nelayan sejati.

Rentang waktu beberapa puluh tahun maka suatu hari Sang Professor pulang kampung mengunjungi sanak-saudara dan keluarga beserta teman-teman lamanya.

Bertemulah kedua sahabat itu dan kemudian saling melepas kangen. Sebagai bentuk reuni mereka maka teman yang berprofesi sebagai nelayan mengajak temannya yakni Sang Professor untuk naik perahu kecil memancing ikan ke tengah lautan.
Dalam perjalanan ke tengah laut terjadilah dialog yang menarik antara dua kawan lama ini.

“Apa kamu bisa bebahasa inggris?”, tanya sang professor kepada si nelayan.

“Wah, terus terang saja saya tidak sempat belajar bahasa Inggris karena aku hanya belajar sampai SMP dan kemudian menjadi nelayan setiap pagi & sore.” jawab si nelayan dengan ringan dan sedikit malu-malu.

“Rugi sekali kamu tidak bisa bahasa Inggris, dengan bahasa Inggris kamu bisa mempelajari aneka ilmu, berkeliling dunia, merantau dan bisa menjadikan kamu kaya raya. Sebaliknya jika kamu tidak bisa bahasa Inggris berarti kamu sudah kehilangan 50% hidupmu”, saut sang professor dengan nada yang mulai menampakkan keunggulan & kesombongannya.

Kemudian professor bertanya lagi, “Kalau ilmu matematika kamu bisa tidak?”.

Dengan malu yang makin besar, maka suara lirih sang nelayan menjawab parau, “Apalagi ilmu matematika, kamu tentu tahu sendiri lah dengan bekal aku cuma lulusan SMP pasti tidak tahu banyak tentang Matematika”.

Jawaban si nelayan menjadikan sang professor makin besar kepala dan merasa lebih dari sahabat lamanya.

Tiba ditengah laut tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung, dan ombak hujan bercampur angin lebat menerpa perahu kecil kedua sahabat tersebut.

Melihat kondisi ini sang professor menjadi sangat ketakutan dan memegang erat-erat tepian perahu.

“Tenang saja kawan, ombak ini insya allah tidak akan membinasakan kita. Ini biasa terjadi kalau cuaca seperti ini”, celetuk si nelayan memberikan penerangan kepada sang professor.

“Kita tidak usah takut. Jika ombak menghempaskan perahu ini maka kita tinggal berenang beberapa ratus meter dari sini, maka kita akan sampai ke daratan pantai”, tambah si nelayan.

Mendengar ucapan itu maka makin takutlah sang professor dan mendekap erat si nelayan.

Sang professor kemudian berkata, “Justru karena saya tidak bisa berenang maka saya takut jika perahu ini terbalik dan ombak menghempasakan kita di tengah laut”, berkata dengan penuh ketakutan.

“Wah percuma kamu jika jadi professor tidak bisa berenang, kalau tidak bisa bahasa Inggris & Matematika tadi kamu katakan akan kehilangan 50% hidupmu, tapi jika saat ini kamu tidak bisa berenang maka kamu akan kehilangan 100% hidupmu”.

Kesimpulan :

1.Jika kita mempunyai kelebihan maka kita tidak boleh mencela dan menghina kekurangan orang lain karena bisa jadi kita banyak kelebihan disisi yang lain tapi banyak juga kekurangan disisi yang lainnya.

2.Hiduplah saling mengisi agar kehidupan ini menjadi saling melengkapi dan semakin indah.

KISAH POHON APEL DAN SEORANG ANAK


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu, anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku.", pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi.", jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut,
"Duh, maaf aku pun tak punya uang, tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi.", kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu,", jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?".
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah, tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu.", kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi denganku.", kata pohon apel.
"Aku sedih.", kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku", kata pohon apel itu.
"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa, aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu.", jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat.", kata pohon apel.
"Sekarang aku juga sudah terlalu tua untuk itu.", jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.", kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,", kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu pun sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

===============

Pohon apel itu adalah ibarat orang tua kita ..

Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. kita mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara sebagian dari kita memperlakukan orang tua kita.

PENGORBANAN SEORANG IBU


PENGORBANAN seseorang yang tidak akan pernah tergantikan adalah pengorbanan seorang ibu. Ibu adalah seseorang yang memiliki kekuatan cinta dan kasih sayang yang begitu dahsyat. Ibu yang rela mengorbankan apapun yang terbaik untuk anak-anaknya. Pengorbanan itu telah ditunjukkan sejak pertama kali zigot tertanam di endometrium (dinding rahim), hingga sembilan bulan kemudian zigot tersebut tumbuh menjadi seorang bayi yang dirindukan kehadirannya, terutama oleh seorang ibu. Siapa yang mampu menggantikan beratnya perjuangan dan besarnya perhatian selama sembilan bulan proses perkembangan janin hingga menjadi bayi yang sempurna, selain dari seorang ibu.

Pengorbanan seorang ibu terus berlanjut. Ketika sang anak dalam masa balita, belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri, hingga apapun yang ia butuhkan selalu meminta ibu untuk memenuhinya. Permintaan yang terkadang sulit untuk diwujudkan dan tidak jarang disertai dengan tangisan rewel. Namun, dengan senyuman yang tulus, seorang ibu tetap berusaha memenuhi permintaan tersebut. Ketika sang anak sakit, ibu adalah orang yang paling cemas dan berusaha memberikan perawatan terbaik demi kesembuhan anaknya. Ketika anak berada dalam bahaya, ibu adalah orang yang pertama kali maju ke depan, rela menjadi tameng untuk melindungi anaknya.

Ketika remaja, berbagai kenakalan yang dilakukan sang anak tidak pernah membuat seorang ibu lelah dan menyerah dalam memberikan nasihat agar sang anak bisa menjadi lebih baik. Meskipun tak jarang nasihat tersebut diabaikan.

Hingga sang anak tumbuh menjadi dewasa, pengorbanan ibu tetap belum berakhir. Ketika sang anak jatuh bangun dalam berjuang menjadi seseorang di dunia kerja, ibu adalah orang yang selalu memberikan semangat dan dukungan terbaik. Ibu adalah orang yang paling bahagia ketika anaknya telah menjadi seseorang yang sukses sehingga dengan kesuksesannya tersebut ia bisa memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat di sekitarnya. Karena memang itulah harapan dari seorang ibu.

Ketika tiba saatnya sang anak membina rumah tangga dengan seseorang yang menjadi pilihannya, ibu tidak serta merta memutuskan perhatian dan penjagaan yang sebelumnya selalu ia berikan. Ibu akan menjadi orang yang setiap saat siap memberikan bantuan ketika sang anak menemui suatu kesulitan dalam perjalanannya membina rumah tangga, karena sang anak menyadari bahwa ibu adalah sosok yang bisa dijadikan sebagai panutan.

Itulah ibu. Seseorang yang pengorbanannya tidak cukup direpresentasikan dengan sebutan sebagai pahlawan. Gelar kepahlawanan diberikan kepada seseorang karena satu pengorbanan yang ia berikan. Seorang ibu, bukan hanya satu pengorbanan, tetapi pengorbanan yang tulus sepanjang masa yang ia berikan. Tidak ada gelar atau sebutan apapun yang bisa diberikan kepada seorang ibu sebagai penghargaan atas pengorbanan yang ia lakukan. Namun, pengorbanan seorang ibu akan tetap menjadi hal yang paling berharga yang tidak akan pernah tergantikan. Pengorbanan seorang ibu akan tetap dikenang. Ada dan tiada dirinya, seorang ibu akan selalu ada di hati anak-anak yang menyayanginya.